RSS
email
0

TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPN OLEH PEMUNGUT

I. TATA CARA PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN

1. Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin.

2. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan.

3. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta identitas Rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin sebagai penyetor atas nama Rekanan.

4. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka Rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.

5. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
a. lembar kesatu untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin;
b. lembar kedua untuk Rekanan; dan
c. lembar ketiga untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

6. SSP sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar kesatu untuk Rekanan;
b. lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. lembar ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. lembar kelima untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

7. Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang melakukan pemungutan wajib membubuhkan cap "Disetor Tanggal .............." dan menandatanganinya pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 5.

8. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM.

II. TATA CARA PELAPORAN

Pelaporan dilakukan setiap bulan ke KPP tempat Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin terdaftar dengan menggunakan formulir "Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN" paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 dan SSP lembar ke-5.
Read more
0

Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

Beberapa hari yang lalu ada pertanyaan mengenai perlakuan PPh yang sudah terlanjur dipotong, padahal atas transaksi tersebut tidak terutang pajak?

Berikut saya jelaskan beberapa hal terkait masalah seperti ini. Case ini adalah Pemotong PPh (PT A) yang melakukan pemotongan saat melakukan pembayaran atas tagihan dari PT B. Padahal semestinya hal ini tidak dilakukan pemotongan karena bukan obyek Pajak Penghasilan.

Dasar Hukum Pengembalian Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK- 190/PMK.03/2007 tanggal 1 Januari 2008. Peraturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2008.

Pokok-pokok ketentuan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, khususnya apabila kesalahan ada pada pemotong pajak (PPh) adalah sebagai berikut:

a. Apabila terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak berupa pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut, dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Wajb Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.

b. Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan.

c. Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dalam hal :
- pihak yang dipotong, atau dipungut orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
- pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri; atau
- terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut.
kecuali Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha.

d. Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar.

e. Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau Pemungutan, permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar.

f. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut harus dilampiri, antara lain :
- asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
- perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;dan
- alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

g. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan harus dilampiri, antara lain :
- asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
- perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
- surat permohonan dan surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan;dan
- alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penelitian atas permohonan tersebut. Artinya, Ditjen Pajak harus memberi keputusan apakah permohonan diterima atau ditolak dalam jangka waktu tersebut.
Read more
1

Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendaharawan

Dasar Hukum
Dasar hukum pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah:
1.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain
Siapa Bendaharawan?
Yang dimaksud bendaharawan adalah :
  1. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
  2. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
  3. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
Bagaimana mekanisme pemungutannya?
Pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara dilakukan pada saat melakukan pembayaran (atas pembelian barang) kepada rekanan, kecuali atas:
  1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
  2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
Atas pemungutan ini oleh bendaharawan kemudian disetor dengan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama dan NPWP rekanan ke bank persepsi atau kantor pos. Penyetoran ini dilakukan pada hari yang sama saat pemungutan.
SSP sebagaimana tersebut di atas adalah sebagai bukti pemungutan bagi rekanan (yaitu SSP lembar ke-1) dan bukti pemungutan bagi bendahara (yaitu SSP lembar ke-5).
Tarif
Tarif PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara sebesar 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN).
Contoh penghitungan:
Dinas Perkebunan membeli satu buah komputer untuk kantor dengan harga Rp 10.000.000. PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh bendahara adalah 1,5% x Rp 10.000.000 = Rp 150.000. Apabila dana dalam DIP sebesar Rp 10.000.000 sudah termasuk PPN, maka besarnya PPh Pasal 22 dihitung dengan cara:
100/110 x Rp 10.000.000 x 1,5% = Rp 136.164
Pelaporan Pajak Bendahara
Pemungutan PPh Pasal 22 yang telah dilakukan, wajib dilaporkan oleh bendahara ke Kantor Pelayanan Pajak dimana bendahara terdaftar. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 selambat-lambat 14 hari setelah bulan dilakukan pemungutan. Bila pemungutan PPh Pasal 22 terjadi pada bulan Agustus, maka pelaporannya paling lambat pada tanggal 14 September. Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja berikutnya.
SPT Masa sebagaimana dimaksud di atas dilampiri Daftar Bukti Pemungutan dan SSP lembar ke-3.
Read more
0

Ketidakpastian Aturan Pajak Mengenai Joint Operation

Preface

Pengertian JO dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut bahwa JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.
Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO.

a. Administrative JO

Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

b. Non-Administrative JO

JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.

Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Atas JO

Kecuali reksadana, penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan.

a. Aspek PPh - Administrative JO.

Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21/ pasal 23/ pasal 26/ pasal 4 ayat 2). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.

Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak dapat mengkreditkan PPh pasal 23 yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan termin. Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh pasal 23 tersebut sebagai kredit pajak, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 mengatur mekanisme pemecahan bukti potong sebagai berikut:

1). Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan atau pemotongan PPh pasal 23, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada Project Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh pasal 23 atas nama JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.

2). Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 23 atas nama JO, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 23 kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian melalui proses pemindahbukuan masing-masing anggota JO dapat mengkreditkan PPh pasal 23 tersebut.

Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 juncto KEP-161/PJ/2001 mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode equity.

b. Aspek PPh Non-Administrative JO

Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 23 tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).

Perlakuan PPN Atas JO

Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama Operasi termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.

Inkonsistensi Beberapa Surat Penegasan Dirjen Pajak Tentang Pemajakan Atas JO Menimbulkan Ketidakpastian
SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23 merupakan satu-satunya SE Dirjen Pajak yang pernah diterbitkan terkait dengan pemajakan JO. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Karena merupakan Surat (private ruling) maka hal ini tentu saja ”tidak selalu” dapat menjadi acuan umum.
Beberapa surat penegasan yang diterbitkan Dirjen Pajak ternyata tidak konsisten antara satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Hal tersebut terlihat dalam beberapa contoh Surat Dirjen Pajak berikut ini.

S-752/PJ.52/1990

Surat ini menegaskan bahwa JO dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila JO menutup kontrak atas namanya. Apakah kontrak pekerjaan (proyek) dibuat dan ditandatangani antara Project Owner dengan JO menjadi penentu apakah JO harus menjadi PKP atau tidak. Dengan kata lain, apabila kontrak ditandatangani oleh Project Owner dengan masing-masing anggota JO maka JO tidak merupakan PKP dan tentu saja tidak wajib memiliki NPWP. Dalam hal ini fiskus tampaknya lebih mementingkan bentuk hukum (legal form).

S-823/PJ.312/2002

Ditegaskan dalam Surat ini bahwa JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas nama JO. Frase ”secara nyata-nyata” menekankan pentingnya hakekat atau substansi dari transaksi (substance). Hal ini berbeda dengan S-752/PJ.52/1990 yang lebih menekankan legal form-nya. Bisa jadi sebagian Wajib Pajak menginterpretasikan bahwa meskipun secara legal kontrak pekerjaan ditandatangani atas nama JO seperti layaknya Administrative JO, apabila kenyataannya proyek dikerjakan bukan atas nama JO melainkan oleh masing-masing anggota sesuai scope pekerjaan yang disepakati layaknya Non-Administrative JO, maka seyogianya JO tidak harus menjadi PKP. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi antara fiskus dan Wajib Pajak, antar Wajib Pajak, bahkan mungkin antar aparat pelaksana (fiskus) sendiri. Jelas dalam hal ini Surat Dirjen Pajak No. S-823/PJ.312/2002 tidak selaras dengan Surat No. S-752/PJ.52/1990.

S-956/PJ.53/2005

Surat ini tidak menyinggung masalah bentuk hukum maupun substansinya namun semakin menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian. Ditegaskan bahwa apabila sebagian anggota JO melaksanakan pekerjaan atas nama JO maka :
• JO dan anggota JO harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak
• Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada Project Owner terutang PPN dan dilaporkan di SPT Masa PPN atas nama JO sebagai Pajak Keluaran.
• Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO dalam rangka kerjasama operasi (JO) kepada Project Owner merupakan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada JO.
• Penyerahan tersebut terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada JO. Bagi anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

Perlakuan tersebut malah mengacaukan konsep JO sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan sepertinya mencampuradukkan Administrative JO dan Non-Administrative JO. Keharusan JO menjadi PKP dan kewajiban melaporkan PPN yang dipungut atas nama JO dalam SPT Masa PPN adalah merupakan karakteristik dari Administrative JO. Selanjutnya anggota JO yang melaksanakan pekerjaan atas nama JO tetapi diharuskan juga membuat Faktur Pajak kepada JO seolah-olah masing-masing anggota JO mengerjakan sendiri scope pekerjaannya adalah merupakan ciri Non-Administrative JO.

Surat Penegasan tersebut juga akan membawa dampak terhadap aspek pemotongan PPh pasal 23. JO akan memotong PPh pasal 23 atas setiap pembayaran tagihan yang diajukan oleh masing-masing anggota JO. Selanjutnya pihak Project Owner juga akan melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas tagihan dari JO yang pada hakekatnya adalah merupakan jumlah tagihan yang sama dengan yang diajukan oleh anggota JO kepada JO. Singkatnya, terjadi dua kali pemotongan PPh pasal 23 atas penghasilan yang sama.

Kesimpulan

Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama operasi saat ini dan di masa mendatang. Apakah memilih substance over form atau form over substance dalam pemajakan JO haruslah lebih jelas.
Selanjutnya ketentuan pemajakan hendaknya dituangkan secara pasti dalam bentuk ketentuan hukum yang dapat menjadi acuan umum dalam pelaksanaannya, Hal ini akan mengurangi permintaan penegasan atau ruling oleh para Wajib Pajak sekaligus menghindari terbitnya surat-surat jawaban dari Dirjen Pajak yang justru menimbulkan ambigu.

Sumber:
Ortax.org
Read more
0

Agen BBM (SPBU) Sebagai Pengusaha Kena Pajak

Pada tulisan kali ini saya mencoba menyampaikan wacana perihal pengukuhan agen/penyalur BBM sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Sebagaimana diketahui bahwa pengusaha yang hanya menjual BBM saja, tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP (Non PKP). (Lihat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE- 10/PJ.51/1993 tanggal 3 April 1993 tentang Pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas BBM, disebutkan bahwa bagi pengusaha yang dalam kegiatannya hanya semata-mata menyerahkan produk BBM (premium, solar, minyak tanah, minyak diesel, minyak bakar, avtur, avigas), selain PERTAMINA, tidak perlu dikukuhkan menjadi PKP).
Karena produk yang dijual, yaitu premium, solar, minyak tanah, dan lainnya, di dalam harga jualnya sudah termasuk PPN. Jadi tidak perlu lagi mereka memungut PPN.

Pengusaha Non PKP ini, sesuai ketentuan perpajakan, tidak diperkenankan menerbitkan faktur pajak dan otomatis tidak ada kewajiban melaporkan SPT Masa PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Ketentuan ini tidak berlaku apabila selain menjual BBM, pengusaha juga menjual barang kena pajak lainnya. Dalam kasus ini, maka pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena Pajak.

Selain perlakuan yang berbeda dalam hal PPN, dalam pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap penjual BBM ini pun diperlakukan berbeda pula, yaitu dikenakan secara final. Karena dikenakan PPh final maka agen/penyalur BBM tidak berkewajiban melaporkan PPh Pasal 25. Jadi meski pengusaha ini memperoleh keuntungan bermilyar-milyar misalnya, SPT Tahunan yang dilaporkan akan tetap NIHIL alias tidak ada pajak yang perlu disetor lagi. Itulah keistimewaan Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang penjualan BBM.


Kembali ke masalah pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Baru-baru ini PT Pertamina di Balikpapan menganjurkan agar para agen/penyalur BBM mengajukan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana agen tersebut terdaftar. Kabarnya, latar belakang Pertamina menganjurkan ini adalah karena pihak Pertamina sudah tidak lagi menyediakan alat angkut BBM dari depot ke para customer.

Para customer-lah yang harus menyediakan sendiri sarana angkutannya dan atas biaya angkut yang dikeluarkan oleh customer tersebut nantinya di-reimburse ke Pertamina. Nah, syarat mengajukan penagihan (reimburse)harus disertai dengan faktur pajak. Berdasarkan peraturan pajak yang berlaku (Pasal 39A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) agar bisa menerbitkan faktur pajak, customer (atau siapa saja) terlebih dahulu harus dikukuhkan sebagai PKP.

Yang menjadi masalah adalah bila agen sudah menjadi PKP, pelaporan/pengisian SPT PPN-nya seperti apa?

Core business agen/penyalur BBM adalah menjual BBM. Dalam menjual BBM ini tidak diperkenankan lagi memungut PPN karena harga jual di konsumen terakhir sudah include PPN. Jadi tidak ada transaksi penjualan BBM yang perlu dilaporkan di SPT Masa PPN. Lalu apa yang dilaporkan di SPT Masa PPN? Apakah hanya dari angkutan saja? Bila dari angkutan saja, pajak masukannya dalam bentuk apa?

Untuk menjawab ini kita berasumsi bila agen tersebut semata-mata hanya menjual BBM dan penjualanya ke konsumen non industri, maka yang dilaporkan di SPT PPN Form 1107A adalah jumlah tagihan atas biaya angkut ke Pertamina. Bila ada pembelian yang berhubungan dengan alat transportasi, misalnya pembelian spareparts, maka pembelian tersebut dimasukkan/dilaporkan di Form 1107B.

Apabila agen tersebut di samping menjual BBM ke konsumen non industri tetapi juga menjual ke konsumen industri, maka atas penjualan BBM ke non industri juga harus dilaporkan di Form 1107A karena bila pembelinya adalah perusahaan industri/manufaktur, biasanya pembeli tersebut meminta faktur pembeliannya. Dan sebagai kredit pajak dari penjualan BBM ke industri ini adalah pajak masukan pembelian BBM oleh agen ke Pertamina.

Paragraf terakhir adalah sebatas teori yang mudah-mudahan bisa menjadi jalan keluar bagi para agen BBM dalam menjual BBM-nya ke industri. Karena praktek bisnis agen BBM ke konsumen industri belum sepenuhnya saya pahami.

Semoga bermanfaat.

Sumber:
http://wongcikawung.blogspot.com/2010/08/agen-bbm-spbu-sebagai-pengusaha-kena.html
Read more
0

Barang & Jasa Yang Tidak Kena PPN

Sesuai Pasal 4A UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, kelompok barang dan jasa yang tidak dikenai PPN sebagai berikut:
(1) dihapus
(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:

a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
Read more
0

Dokumen yang Dipersamakan Dengan Faktur Pajak

Dokumen-dokumen tersebut di bawah ini sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP- 312/PJ./2001
diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu :
a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;
b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi.
f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliverry Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
Read more