RSS
email
0

TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPN OLEH PEMUNGUT

I. TATA CARA PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN

1. Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin.

2. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan.

3. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta identitas Rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin sebagai penyetor atas nama Rekanan.

4. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka Rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.

5. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
a. lembar kesatu untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin;
b. lembar kedua untuk Rekanan; dan
c. lembar ketiga untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

6. SSP sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar kesatu untuk Rekanan;
b. lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. lembar ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. lembar kelima untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

7. Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang melakukan pemungutan wajib membubuhkan cap "Disetor Tanggal .............." dan menandatanganinya pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 5.

8. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM.

II. TATA CARA PELAPORAN

Pelaporan dilakukan setiap bulan ke KPP tempat Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin terdaftar dengan menggunakan formulir "Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN" paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 dan SSP lembar ke-5.
Read more
0

Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

Beberapa hari yang lalu ada pertanyaan mengenai perlakuan PPh yang sudah terlanjur dipotong, padahal atas transaksi tersebut tidak terutang pajak?

Berikut saya jelaskan beberapa hal terkait masalah seperti ini. Case ini adalah Pemotong PPh (PT A) yang melakukan pemotongan saat melakukan pembayaran atas tagihan dari PT B. Padahal semestinya hal ini tidak dilakukan pemotongan karena bukan obyek Pajak Penghasilan.

Dasar Hukum Pengembalian Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK- 190/PMK.03/2007 tanggal 1 Januari 2008. Peraturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2008.

Pokok-pokok ketentuan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, khususnya apabila kesalahan ada pada pemotong pajak (PPh) adalah sebagai berikut:

a. Apabila terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak berupa pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut, dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Wajb Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.

b. Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan.

c. Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dalam hal :
- pihak yang dipotong, atau dipungut orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
- pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri; atau
- terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut.
kecuali Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha.

d. Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar.

e. Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau Pemungutan, permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar.

f. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut harus dilampiri, antara lain :
- asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
- perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;dan
- alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

g. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan harus dilampiri, antara lain :
- asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
- perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
- surat permohonan dan surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan;dan
- alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penelitian atas permohonan tersebut. Artinya, Ditjen Pajak harus memberi keputusan apakah permohonan diterima atau ditolak dalam jangka waktu tersebut.
Read more
1

Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendaharawan

Dasar Hukum
Dasar hukum pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah:
1.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain
Siapa Bendaharawan?
Yang dimaksud bendaharawan adalah :
  1. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
  2. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
  3. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
Bagaimana mekanisme pemungutannya?
Pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara dilakukan pada saat melakukan pembayaran (atas pembelian barang) kepada rekanan, kecuali atas:
  1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
  2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
Atas pemungutan ini oleh bendaharawan kemudian disetor dengan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama dan NPWP rekanan ke bank persepsi atau kantor pos. Penyetoran ini dilakukan pada hari yang sama saat pemungutan.
SSP sebagaimana tersebut di atas adalah sebagai bukti pemungutan bagi rekanan (yaitu SSP lembar ke-1) dan bukti pemungutan bagi bendahara (yaitu SSP lembar ke-5).
Tarif
Tarif PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara sebesar 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN).
Contoh penghitungan:
Dinas Perkebunan membeli satu buah komputer untuk kantor dengan harga Rp 10.000.000. PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh bendahara adalah 1,5% x Rp 10.000.000 = Rp 150.000. Apabila dana dalam DIP sebesar Rp 10.000.000 sudah termasuk PPN, maka besarnya PPh Pasal 22 dihitung dengan cara:
100/110 x Rp 10.000.000 x 1,5% = Rp 136.164
Pelaporan Pajak Bendahara
Pemungutan PPh Pasal 22 yang telah dilakukan, wajib dilaporkan oleh bendahara ke Kantor Pelayanan Pajak dimana bendahara terdaftar. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 selambat-lambat 14 hari setelah bulan dilakukan pemungutan. Bila pemungutan PPh Pasal 22 terjadi pada bulan Agustus, maka pelaporannya paling lambat pada tanggal 14 September. Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja berikutnya.
SPT Masa sebagaimana dimaksud di atas dilampiri Daftar Bukti Pemungutan dan SSP lembar ke-3.
Read more